Apakah Bus Kita Sudah Menjangkau Warga?
Surabaya telah berhasil membangun tulang punggung transportasi umum yang solid melalui operasional Suroboyo Bus dan Trans Semanggi. Ribuan penumpang terlayani setiap harinya di jalur-jalur protokol utama. Namun, dalam diskursus perencanaan kota modern, keberhasilan transportasi tidak lagi hanya diukur dari jumlah armada atau panjang rute, melainkan dari tingkat inklusivitas aksesibilitasnya terhadap pemukiman warga, atau yang dikenal sebagai First Mile Connectivity.
Pentingnya aspek ini ditegaskan dalam studi Meshkani et al. (2024), yang menyoroti bahwa konektivitas first-mile adalah kunci utama dalam meningkatkan kenyamanan transportasi publik, khususnya untuk menjangkau area suburban dan pemukiman dalam (deep settlements).
Pertanyaan mendasar yang sering terlewatkan adalah apakah halte-halte yang ditempatkan di jalan raya utama tersebut benar-benar menjangkau kantong hunian warga yang sebenarnya? Seringkali, perencanaan konvensional menempatkan halte berbasis geometri jalan raya. Padahal, realitas morfologi kota Surabaya menunjukkan bahwa densitas penduduk terbesar sering kali berada di lapisan kedua atau ketiga dari jalan raya.
Studi ini bertujuan melakukan audit spasial komprehensif untuk mengidentifikasi "Urban Transport Blind Spots", sebuah istilah untuk kawasan hunian yang secara fisik sangat padat, namun secara spasial berada di luar radius layanan efektif (catchment area) dari jaringan halte bus eksisting di Surabaya.
Pendekatan Building Footprint
Pendekatan tradisional dalam perencanaan transportasi sering kali mengandalkan data kependudukan level kelurahan atau kecamatan. Kelemahan utama data ini adalah sifatnya yang agregat kasar. Satu kelurahan bisa mencakup wilayah yang sangat luas, sehingga sulit menentukan di titik spesifik mana konsentrasi penduduk sebenarnya berada.
Untuk mengatasi bias spasial tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan mikro spasial berbasis Tapak Bangunan (Building Footprints). Data ini diekstraksi dari OpenStreetMap (OSM) dengan hipotesis bahwa keberadaan bangunan hunian merupakan proksi akurat untuk merepresentasikan keberadaan calon penumpang hingga level atap rumah.
Penggunaan tapak bangunan sebagai indikator kepadatan ini telah terbukti valid secara metodologis. Sebagaimana didemonstrasikan oleh Boo et al. (2022), building footprint memiliki korelasi yang kuat dengan data demografi resmi dan mampu memperkirakan kepadatan penduduk wilayah urban yang kompleks dengan akurasi tinggi.
Namun, data mentah OSM seringkali mengandung noise yang dapat mendistorsi analisis. Bangunan bervolume besar seperti pabrik, gudang logistik, atau perkantoran pemerintah dapat terdeteksi sebagai "area padat" jika hanya dilihat dari luasannya, padahal bukan merupakan bangkitan penumpang perumahan. Oleh karena itu, dilakukan proses pembersihan data (data cleaning) yang ketat menggunakan fungsi Query Builder di QGIS.
Bangunan dengan atribut non-hunian dieleminasi secara sistematis. Fokus analisis dikunci murni pada bangunan dengan tipologi residential, apartments, terrace, dan sejenisnya. Langkah filtrasi ini krusial untuk memastikan bahwa "kepadatan" yang terukur nantinya adalah validitas kepadatan warga komuter, bukan aktivitas industri atau komersial.
Teknik Hexagonal Binning
Setelah data bangunan bersih, tantangan berikutnya adalah mengukur intensitas kepadatannya. Studi ini menggunakan metode Hexagonal Binning dengan ukuran grid 300 meter.
Mengapa 300 meter? Dimensi ini dipilih untuk merepresentasikan resolusi skala lingkungan (neighborhood scale). Ukuran ini dianggap paling optimal untuk menggambarkan satu blok pemukiman atau unit Rukun Warga (RW) secara utuh tanpa memecah klaster hunian terlalu kecil. Selain itu, bentuk heksagon dipilih karena memiliki geometri yang lebih efisien dibanding grid kotak untuk mengurangi bias visual pada tepian area (edge effect).
Dalam setiap sel heksagon, algoritma tidak hanya menghitung jumlah bangunan, melainkan menerapkan variabel kombinasi untuk menentukan validitas hunian padat. Kriteria "Kepadatan Tinggi" didefinisikan dengan logika berikut:
-
1.Total Luas Lantai Tinggi (High Sum): Mengindikasikan volume bangunan yang masif di area tersebut.
-
2.Rata-rata Luas Unit Kecil (Low Mean): Mengindikasikan bahwa area tersebut terdiri dari rumah-rumah berukuran kecil atau kompak (di bawah 150 meter persegi).
Menetapkan Ambang Batas Statistik
Salah satu tantangan terbesar dalam analisis spasial adalah menentukan "berapa angka yang tepat?" untuk mendefinisikan kepadatan. Alih-alih menggunakan asumsi semata, studi ini melakukan bedah statistik deskriptif terhadap data heksagon di seluruh Surabaya untuk menemukan nilai ambang batas (threshold) yang paling representatif.
Berdasarkan distribusi data aktual, ditetapkan dua parameter kunci:
1. Batas Tipologi Hunian (Mean Area): ≤150m²
Data menunjukkan bahwa median (nilai tengah) luas tapak bangunan di Surabaya adalah 120m².
- Kuartil bawah (25%) berada di angka 80m², yang merepresentasikan pemukiman sangat padat.
- Kuartil atas (75%) berada di angka 253m², yang sudah masuk kategori rumah mewah atau bangunan komersial.
Oleh karena itu, studi ini menetapkan batas toleransi maksimal pada angka 150m² (sekitar persentil ke-60). Angka ini dipilih sebagai titik keseimbangan (sweet spot) untuk mencakup mayoritas hunian warga kelas menengah-bawah, sekaligus secara efektif membuang 40% data teratas yang berisi bangunan skala besar yang bukan merupakan target pengguna transportasi publik.
2. Batas Kepadatan Ruang (Sum Area): ≥ 35.850m²
Untuk intensitas kepadatan, analisis distribusi menunjukkan bahwa rata-rata total luas lantai per heksagon adalah 23.909m². Namun, untuk menemukan "kantong" penumpang yang sesungguhnya, kita perlu melihat pada persentil atas.
Data menunjukkan bahwa Top 20% (Persentil 80) kawasan terpadat di Surabaya dimulai dari angka 35.857m². Ini berarti analisis secara eksklusif memprioritaskan 20% wilayah dengan densitas fisik tertinggi di kota Surabaya, memastikan intervensi layanan difokuskan pada area yang paling berdampak.
Analisis Kesenjangan (Gap Analysis)
Tahap inti dari penelitian ini adalah mengevaluasi jangkauan layanan. Metode yang digunakan adalah Service Area Buffer dengan radius 500 meter pada seluruh titik Halte Suroboyo Bus dan Trans Semanggi. Pendekatan berbasis coverage area ini selaras dengan studi Hardi et al. (2023), yang menunjukkan signifikansi analisis radius layanan dalam membedakan kawasan terlayani dan tidak terlayani (unserved area) secara spasial.
Angka 500 meter ini diadopsi sebagai ambang batas kemauan berjalan kaki (willingness to walk) yang umum diterima. Asumsinya, jika sebuah rumah berada lebih jauh dari jarak ini, kecenderungan warga untuk menggunakan transportasi umum akan menurun.
Hasil analisis memperlihatkan realita lapangan yang cukup kontras. Ditemukan klaster-klaster heksagon berwarna "Merah Pekat" (Sangat Padat) yang berstatus Disjoint (Tidak bersentuhan/di luar) dari buffer halte manapun. Area-area inilah yang secara teknis didefinisikan sebagai kesenjangan layanan (service gap).
Menentukan Prioritas Intervensi dengan Machine Learning
Di tengah banyaknya titik kesenjangan yang ditemukan, lokasi mana yang harus diprioritaskan? Penentuan lokasi secara manual berisiko subjektif. Oleh karena itu, studi ini menerapkan algoritma Unsupervised Machine Learning bernama DBSCAN (Density-Based Spatial Clustering of Applications with Noise).
Pemilihan algoritma ini didasarkan pada kapabilitasnya dalam menangani data spasial yang kompleks. Penelitian Zhang et al. (2021) dan Tang et al. membuktikan bahwa DBSCAN sangat efektif untuk mengeliminasi noise (data pencilan) dan mengidentifikasi klaster perjalanan yang valid, sehingga sangat aplikatif untuk menentukan prioritas intervensi jaringan transportasi.
Algoritma ini memindai pola distribusi titik kesenjangan dengan parameter:
- MinPts: Minimal 3 titik permintaan (centroid heksagon).
- Epsilon: Radius pencarian 600 meter.
Hasilnya, algoritma berhasil mengeliminasi titik-titik yang tersebar acak (noise) dan membentuk beberapa klaster utama yang solid. Klaster ini mengindikasikan adanya kebutuhan yang mendesak dan masif.
Setelah dilakukan perankingan statistik berdasarkan jumlah titik permintaan (demand points) di dalam setiap klaster, Klaster #2 teridentifikasi sebagai zona dengan urgensi tertinggi sebanyak 60 titik. Klaster ini berlokasi di wilayah Surabaya Utara dan memiliki konsentrasi hunian tak terlayani (unserved demand) paling besar dibandingkan wilayah lain di Surabaya.
Teknik Convex Hull kemudian digunakan untuk menarik garis batas terluar dari Klaster #2 tersebut, menghasilkan delineasi wilayah studi kasus yang jelas untuk intervensi lanjutan.
Korelasi Fisik dan Sosial
Sebuah model analisis spasial perlu diuji validitasnya. Apakah kepadatan bangunan benar-benar mencerminkan kepadatan manusia?
Untuk menjawab keraguan ini, dilakukan komparasi visual (cross-validation) antara Peta Kepadatan Bangunan hasil analisis dengan Peta Demografi Penduduk resmi. Teknik visualisasi side-by-side digunakan untuk membandingkan pola spasial keduanya.
Hasil validasi memperlihatkan konsistensi pola yang kuat. Area yang terdeteksi oleh algoritma sebagai "Gap Bangunan Padat" secara konsisten berimpit dengan area yang tercatat memiliki "Densitas Penduduk Tinggi" pada data demografi. Hal ini mengonfirmasi hipotesis awal bahwa metode berbasis building footprint adalah indikator yang valid dan reliabel untuk merepresentasikan kebutuhan transportasi masyarakat riil di lapangan.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Penelitian ini menyimpulkan bahwa di balik kesuksesan operasional bus kota, masih terdapat kantong-kantong hunian padat di Surabaya yang belum terintegrasi dengan jaringan halte utama. Kesenjangan ini terjadi terutama di area pemukiman yang posisinya menjorok ke dalam dari jalan protokol.
Luaran dari studi ini bukan hanya sekadar peta masalah, melainkan sebuah Delineasi Zona Prioritas yang dihasilkan secara komputasional. Kawasan hasil klasterisasi ini direkomendasikan kepada pemerintah kota atau operator transportasi sebagai lokasi target intervensi strategis, berupa:
-
1.Penambahan Titik Halte Baru: Khusus pada area prioritas yang akses jalannya memungkinkan dilalui armada bus besar.
-
2.Pembukaan Rute Pengumpan (Feeder): Untuk menghubungkan kawasan prioritas yang berada di jalan lingkungan (deep settlements) menuju jaringan utama (trunk line).
Daftar Pustaka
Boo, G., Darin, E., Leasure, D. R., Dooley, C. A., Chamberlain, H. R., Lázár, A. N., Tschirhart, K., Sinai, C., Hoff, N. A., Fuller, T., Musene, K., Batumbo, A., Rimoin, A. W., & Tatem, A. J. (2022). High-resolution population estimation using household survey data and building footprints. Nature Communications, 13(1), 1330. https://doi.org/10.1038/s41467-022-29094-x
Hardi, A. Z., Hardi, A. Z., & Murad, A. A. (2023). Spatial Analysis of Accessibility for Public Transportation, A Case Study in Jakarta, Bus Rapid Transit System (Transjakarta), Indonesia. Journal of Computer Science, 19(10), 1190–1202. https://doi.org/10.3844/jcssp.2023.1190.1202
Meshkani, S. M., Farazmand, S., Bouguila, N., & Patterson, Z. (2024). Innovative On-Demand Transit for First-Mile Trips: A Cutting-Edge Approach. Transportation Research Record: Journal of the Transportation Research Board, 2678(11), 122–136. https://doi.org/10.1177/03611981241239970
Tang, J., Bi, W., Liu, F., & Zhang, W. (2021). Exploring urban travel patterns using density-based clustering with multi-attributes from large-scaled vehicle trajectories. Physica A: Statistical Mechanics and Its Applications, 561, 125301. https://doi.org/10.1016/j.physa.2020.125301
Zhang, X., Lauber, L., Liu, H., Shi, J., Wu, J., & Pan, Y. (2021). Research on the method of travel area clustering of urban public transport based on Sage-Husa adaptive filter and improved DBSCAN algorithm. PLOS ONE, 16(12), e0259472. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0259472